Rasio IgM/IgG Fase Akut Untuk Menentukan Infeksi Dengue Sekunder

Bagus Ngurah Putu Arhana

Sari


Latar belakang. Uji hemaglutinasi inhibisi (HI) memerlukan waktu relatif lama untuk
menentukan infeksi dengue primer dan sekunder, karena memerlukan pemeriksaan serum
pada fase akut dan konvalesen. Beberapa penelitian dengan menggunakan rasio IgM/
IgG untuk menentukan infeksi primer dan sekunder menghasilkan rasio yang berbedabeda.
Tujuan. Untuk mengetahui gambaran IgM dan IgG pada infeksi Dengue dan akurasi
rasio IgM/IgG secara Elisa pada fase akut untuk menentukan infeksi sekunder.
Metoda. Dilakukan uji diagnostik pada sampel yang diambil secara berkesinambungan
(consecutive sampling) pada 62 anak yang dicurigai menderita demam berdarah dengue
antara Juli 2003 sampai dengan Juni 2004, dengan menggunakan rasio IgM/IgG secara
Elisa pada fase akut. Uji Hambatan Hemaglutinasi sesuai dengan kriteria WHO sebagai
baku emas.
Hasil. Dari 62 anak yang ikut dalam penelitian ini, ditemukan 48 anak dengan infeksi
sekunder dan 14 anak dengan infeksi primer. Kadar rerata IgG pada anak dengan
DBD baik syok maupun tidak lebih tinggi secara bermakna daripada demam dengue.
Prevalensi infeksi sekunder adalah 77,4%. Cut off point paling baik dari rasio IgM/
IgG sebagai prediktor infeksi sekunder adalah < 0,9 (sensitivitas 87,5%, spesifisitas
92,9%, rasio kemungkinan 12,3). Prevalensi dari syok pada infeksi sekunder adalah
16,7%. Cut off point paling baik dari rasio kadar IgG sebagai prediktor SSD pada
infeksi sekunder adalah > 165,0 U/mL (sensitivitas 87,5%, spesifisitas 97,5%, rasio
kemungkinan 35,0).
Kesimpulan. Kadar rerata IgG pada DBD nonsyok dan DBD syok secara bermakna
lebih tinggi daripada demam dengue. Rasio IgM/IgG < 0,9 dapat dipakai sebagai
prediktor infeksi sekunder dan kadar IgG > 165,0 U/mL dapat dipakai sebagai prediktor
terjadinya syok pada infeksi sekunder.


Kata Kunci


DBD; infeksi primer dan sekunder; rasio IgM/IgG

Teks Lengkap:

PDF

Referensi


Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar rerata IgG pada

DBD lebih tinggi secara bermakna dibandingkan

dengan pada kelompok DD.

Ken-Ichiro Yamada, Tomohiko Taka-saki, Masaru Nawa,

Sadao Yabe, Ichiro Kurane. Antibody responses determined

for Japanese dengue fever patients by neutralization

and hemagglutination inhibiton assays demonstrate

cross-reactivity between dengue and Japanese encephalitis

viruses. Clin Diagn Lab Immunol 2003; 10:725-8.

Katrin CL, Vaughan DW, Douglas MW. Dengue virus

structural diffrences that correlate with pathogenesis. J

Virol 1999; 73:4738-47.

Vanda AUFS, Silvana F, Evaldo SA. Use of an immunoglobulin

G avidity test to discriminate between primary

and secondary dengue virus infections. J Clin Microbiol

; 42:1782-4.

Srisakul CK, Ananda N, Walter EB, Larry W, Donald

B. Antibody dependent enhancement of dengue virus

growth in human monocytes as a risk factor for dengue

hemorrhagic fever. Am J Trop Med Hyg 1989;40:444-51.

Vaughn DW, Sharone G, Kalayanarooj S. Dengue in

the early febrile phase: viremia and antibody responses.

J Infect Dis 1997; 176:322-30.

Maria GG, Gustavo K. Advances in dengue diagnosis.

Clin Diagn Lab Immunol 1996; 3: 621-7.

Robert A, Wang SL, Osiowy C, Issekutz AC. Activation

of endothelial cells via antibody-enhanced dengue virus

infection of peripheral blood monocytes. J Virol 1997;

: 4226-32.

Juffrie M, K Haasnoot, LG Thijs. Dengue virus infection

and dengue hemorrhagic shock. Crit & Care 2000;

:130-47.

Ohmann HB. Pathogenesis of dengue virus diseases:

missing pieces in the jigsaw. Trend in Microbiol 1997;

:409-12.

Alan L.R. Clinical presentation and diagnosis of dengue

virus infection. UpToDate 2001; 9:1-7.

World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever:diagnosis, treat-ment and control. Jenewa, 1997 .h. 1-83.

Feldmann M. Cell cooperation in the antibody response.

Dalam: Roitt, Brostoff, Male, penyunting. Immunology.

Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby,

h.139-50.

Sutaryo. Dengue. Edisi pertama. Yogyakarta: Medika

Fakultas Kedokteran Unversitas Gajah Mada, 2004.h.1-241.

Sumarmo. The epidemiology control and prevention of

dengue hemorrhagic fever (DHF) in Indonesia. Cermin

Dunia Kedokteran 1994;92: 5-10.

Innis BL, Nisalak S, Nimmannitya S. An enzyme-linked

immunosorbent assay to characterize dengue infections

where dengue and Japanese encephalitis co-circulate. Am

J Trop Med Hyg 1989; 40:418-27.

Sai Kit Lam, Cheng Lan Ew, Jody L Mitchell, Andre J

C, Peter L Devine. Evaluation of a capture screening

enzyme-linked immunosorbent assay for combined determination

of immunoglobulin M and G antibodies

produced during dengue infection. Clin Diagn Lab

Immunol 2000; 7:850-2.

Pei YS, Li KC, Shu FC. Comparison of capture

imunoglobulin M (IgM) and IgG enzym-linked

immunoabsorbent assay (ELISA) and nostructural protein

NS1 serotype-specific IgG ELISA for differentiation

of primary and secondary dengue virus infections.

J Clin Immunol 2003; 10:622-30.

Koroka P, Suharti C, Setiati E. Kinetics of dengue-specific

serum immunoglobulin classes and subclasses correlate

with clinical outcome infection. J Clin Microbiol

;39:4332-8




DOI: http://dx.doi.org/10.14238/sp8.1.2006.2-8

Refbacks

  • Saat ini tidak ada refbacks.


##submission.copyrightStatement##

##submission.license.cc.by-nc-sa4.footer##

Informasi Editorial:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Jl. Salemba I No 5, Jakarta 10430, Indonesia
Phone/Fax: +62-21-3912577
Email: editorial [at] saripediatri.org

Lisensi Creative Commons
Sari Pediatri diterbitkan oleh Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Ciptaan disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-NonKomersial-BerbagiSerupa 4.0 Internasional.